Salam Karya buat anda yang sudah mengunjungi Blog ini

Saran dan Kritik yang membangun sangat kami hargai karena anda sangat pantas untuk di hargai :)

Senin, 12 Desember 2011

Indie yang Major, Kritis yang Banal

“Pasar Dapat diciptakan..”
(Efek Rumah Kaca)
Mungkin banyak orang sudah tahu apa itu indie. Dewasa ini indie sering dikaitkan dengan musik. Musik indie, walau sebenarnya diluar musik memang ada hal-hal lain yang bisa disebut indie. Memang apa indie itu? Berakar dari kata “Independent” yang akhirnya menjadi indie, kurang lebih berarti independen alias mandiri. Jadi indie berarti mandiri dalam membuat sendiri jalur distribusi sebuah produk. Dalam segala aspek, bukan hanya musik. Yang Kita sering dengar ya musik indie, walau ada juga film indie, clothing indie, dll. Dalam hal ini yang hendak dibicarakan disini ada dalam konteks musik indie. Yang selalu disebut-sebut sebagai musik yang beda. Lalu musik yang seperti apa indie itu?
Indie, Metode Distribusi Yang Menjadi Sebuah Nama Genre Musik.
17 tahun yang lalu sebuah mini album dengan 4 lagu bertitel “4 Through The Sap” dirilis. Dan album inilah yang dianggap sebagai tonggak awal kesuksesan album yang dirilis sendiri oleh sang artis tanpa tergantung pada hirarki dan birokrasi major label. Band yang menuai sukses awal metode rilis mandiri ini adalah Pas Band. Pemilik mini album bergaya musik rasa seattle sound itu. Sebelum Pas Band memang ada musisi lain yang rilis album mandiri. Shark Move misalnya, namun Boleh dibilang Pas Band inilah yang memulai pergerakan Indie di Indonesia, pasalnya pasca album yang didalamnya memuat lagu seperti Dogma atau Here Forever ini mulai ramailah band dan musisi lain yang melakukan proses produksi album mandiri. Dan rata-rata musisi yang merilis album secara mandiri dan independen ini adalah Mereka yang ditolak oleh major label alias perusahaan rekaman besar. Bernaung dibawah major label memang menggiurkan dengan luasnya dukungan distribusi dan pemasaran yang Mereka miliki. Namun tentu atas nama selera pasar dan industri musik yang bernaung dibawah label besar ini harus tipikal sama: mudah dijual. Sementara beberapa musisi menyebut hal itu sebagai pembatasan kreatifitas. Maka satu-satunya jalan keluar terbaik adalah merilis sendiri karya musik ini agar tak terkekang birokrasi rumit major label. Ini juga yang membuat musik-musik yang dirilis secara independen terasa beda dan elitis. Karena Mereka tidak sedang mempertaruhkan lehernya di industri musik besar yang harus laku agar balik modal. Yang Mereka kejar adalah kepuasan estetika. Hal ini yang kemudian memunculkan istilah “Musik Indie” yang diartikan sebagai musik yang beda. Indie lantas ditasbihkan menjadi sebuah genre musik, ditujukan pada musik yang beda tadi. Padahal sesungguhnya indie awalnya ya sebuah metode produksi dan distribusi independen. Agak kurang tepat bila lantas disama ratakan bahwa musik yang beda itu indie, sebab toh diluar sana ada juga musik yang beda tapi major.
Indie Yang Major.
Rupanya industri besar musik mulai melirik potensi dalam nama Indie ini. Wajar bila akhirnya nama Indie masuk ke kancah major. Industri musik mulai menjual musik yang bernama indie, dengan sebuah legitimasi bahwa apa yang dimaksud indie adalah musik yang beda tadi. Sebenarnya tak ada yang salah dalam komodifikasi indie ini. Karena seperti kata Joseph Heath dan Andrew Potter dalam “Radikal Itu Menjual” bahwa segala yang radikal memang menjual kan? Label elitis dan beda indie dianggap radikal maka harus dieksploitasi dalam industri musik besar agar mampu menghasilkan keuntungan. Terhitung ada beberapa band yang tadinya berjuang di jalur indie akhirnya masuk juga ke jalur major label ini untuk ekspansi pemasaran. Bahkan Pas Band sang pelopor pergerakan indie pun hingga kini bernaung di sebuah label major negeri. Jadi timbul sebuah pertanyaan. Jika esensi indie yang hakiki adalah sebuah metode produksi dan distribusi, bukan genre musik. Bagaimana bisa major label yang juga sebuah entitas bisnis menjual metode itu? Sama seperti ketika mereka menjual genre pop, rock, dangdut, melayu? Tibalah saat indie dibaptis menjadi genre musik demi menjadi komoditas.
Kritis Yang Banal.
Yang menjadi nilai lebih dari musik yang dirilis dalam jalur indie adalah musik mereka tak terbatas pakem industri, maka bisa bebas berkreatifitas menyampaikan apapun. Juga menyampaikan pesan kritisisme dari sang musisi dalam mengkritisi apapun yang dianggap kurang beres. Ambil contoh band Pop minimalis Efek Rumah Kaca dengan lagunya “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja.” Dalam lagu itu band trio ini menyampaikan pesan seperti dalam lirik “kita berdua hanya berpegangan tangan, tak perlu berpelukan.” . Namun ketika trio itu konser membawakan lagu tersebut, toh para penontonnya yang berpasangan tetap berpelukan. Lalu lagu “Amerika” dari band Jogja Armada Racun yang mengkritisi adiksi Kita akan semua yang berbau Amerika. Namun toh para pendengarnya tetap gila Amerika dan mengkonsumsi amerikanisasi itu sendiri. Yang menjadi pertanyaan lalu adalah: “ketika sebuah lagu dari para musisi yang dianggap beda ini, yang sebenarnya lirik lagunya memang kritis. Namun toh tidak membuat perubahan apapun dalam hidup para pendengarnya, apa yang salah? Apakah kritisisme musisi indie ini yang menjadi banal dan remeh temeh? Atau salah para pendengarnya yang terlalu bebal dan menganggap semua musik kritis yang katanya beda ini hanya sebatas hiburan selayaknya musik pop atau rock yang dijual major label, bukan sebagai dogma layaknya kitab suci agama yang setelah dibaca harus diterapkan dalam kehidupan agar menuju kebaikan.” Barangkali kecemasan terakhir yang Kita rasakan adalah ketika Kita mengamini keputusan Bob Dylan yang berhenti membuat musik kritis karena sadar bahwa musiknya tak membuat perubahan dan revolusi. Ketika tiba saat semua musisi yang (katanya) beda dan kritis yang berjuang di jalur indie ini. Kala itulah semua musik akan seragam. Dan indie, sebuah metode produksi dan distribusi musik (yang dicap sebagai genre musik) yang katanya beda itu akan jadi seragam juga dengan saudara jauhnya major label. Dan selamat datang homogenisasi industri musik.
ARIS SETYAWAN

Minggu, 11 Desember 2011

HISTORY OF Q-5 Band NTB


HISTORY OF Q-5 Band
Q-5 BAND  Sebuah band berasal dari Lombok,NTB pertama kali dibentuk pada tahun 2006 oleh 2 Orang yakni Wimpie (Drum) dan Hardy (Keyboard), saat ke vakuman mereka sejak di band pertama mereka "DRUCK" pada tahun 2005 dengan beranggotakan Hardy (Vokal, Gitar), Ujie (Gitar), Iwan (Bass), Wimpie (Drum), dengan bermarkas di Rumah Wimpie sendiri yang berada di dalam kompleks Perumahan Lembar Timur. Warna musik mereka awalnya lebih pop modern, namun berbeda pendapat karena perbedaan aliran musik dan akhirnya menimbulkan pertengkaran, sehingga Ujie dan Iwan Keluar Dari band tersebut, Akhirnya Wimpie & Hardy membentuk sebuah Band baru yang mereka namakan Q-5 (Qyu Five)  dan beranggotakan Ryan (Vocal), Dhy (Guitar), Gary (Bass) Hardy (Keyboard,Vocal), Wimpie (Drum).tetapi formasi band tersebut tidak begitu lama sejak keluarnya Gary (Bass) akibat cekcok dan posisinya digantikan oleh Abby dan Mengeluarkan Single pertama mereka "Cinta Yang Hilang". Dan Pada saat itu Hardy (Keyboard), Sementara Memutuskan untuk keluar dari band dengan tujuan karena harus fokus dengan kuliahnya dan akan kembali berkumpul sehabis Lulus nanti. Q-5 sendiri mempunyai  istilah Dalam bahasa jepang "Kyu" berarti "Sembilan"adalah merupakan angka keberuntungan dan 5 tersebut karena mereka beranggotakan 5 orang,
mereka berprinsip Berusaha menjadi sesuatu yang lebih baik dan berguna merupakan cita-cita kami dalam bermusik, tidak hanya dalam sisi kepuasan batiniah kami khususnya tetapi juga dengan tidak meninggalkan rasa dan karsa dari rekan – rekan penikmat & pecinta musik pada umumnya.
Berawal dengan rasa kebersamaan yang ada, kami selalu untuk mencoba melakukan sebuah improvement sesuai dengan kemampuan kami masing-masing dalam bermain musik, walau dirasa bukan hal yang mudah untuk melakukannya.

Dengan berbagai kesempatan yang kami selalu miliki, kami mencoba menyuguhkan sebuah kemasan musik yang menurut kami “Inilah Kami”,”Beginilah Kami”,”Berikut Karya Kami”.
Q-5 Band Mini Album
 
Songs :
Q-5 Band
Personil :
~ Ryan (Vocal)
~ Dhy (Guitar)
~ Aby (Bass)
~ Wimpie (Drum)
~ Hardy (Keyboard, Guitar, Vocal)

Email : q-5_band@musician.org
My Space : myspace.com/q-5_band
Bandcamp : http://q-5music.bandcamp.com

Konser Terakhir ST12 Tahun 2011 di Lombok


LOMBOK, (PRLM).- Band asal Kota Bandung ST12 menutup perjalanan musiknya di tahun 2011 dengan konser di Terara, Lombok Timur, yang menjadi pusat petani tembakau di provinsi Nusa Tenggara Barat itu. Setelah konser itu, grup yang statusnya sudah bubar itu akan menjalani konser terakhirnya pada tahun baru 2012 di sebuah stasiun televisi.
"Ini konser dari kontrak yang sudah ada dan harus dijalani, tapi Pepep nggak ikut," kata Charly van Houten ketika ditemui di restoran Lesehan Taliwang Irama, Jl. Ade Irma Suryani, Lombok, Senin (21/11). Konser itu hanya melibatkan Charly dan Pepeng, namun Pepeng sudah lebih dulu kembali ke Jakarta.
Ia mengatakan, meskipun konser terkahir di tahun 2011, namun konser itu berlangsung biasa saja.
"Nanti konser tahun baru barulah jadi konser terakhir banget, nanti akan ada kejutan," tutur Charly yang menjadi pencipta lagu utama di ST12.
Setelah itu, barulah ST12 benar-benar bubar, tinggallah Charly dan Pepeng yang akan membuat grup baru di bawah label Trinity Production. Grup yang dibantu additional player yang biasa membantu ST12 itu akan tetap membawa warna musik pop melayu dengan tambahan berbagai nuansa musik. (A-160/A-88)***
SUMBER : Pikiran Rakyat Online

Jumat, 09 Desember 2011

Adakah Yang Disebut Musik & Musisi Sampah?

Adakah Yang Disebut Musik & Musisi Sampah?
DALAM beberapa dialog santai, beberapa musisi mengeluh karena industri musik Indonesia sekarang makin banyak “musik sampah” yang disukai. Mereka menuding, industri sekarang lebih banyak mengakomodir musisi dan musik sampah. Sebuah pernyataan yang buat saya cukup mengejutkan, meski bukan kali pertama diucapkan oleh musisi yang mengganggap dirinya bukan sampah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI], sampah diartikan “kotoran atau sisa-sisa dari pekerjaan yang harus dibuang”. Sementara menurut Wikipedia, “Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses.” Lalu musik atau musisi sampah apakah bisa diartikan, musik kotor atau sisa-sisa dari pekerjaan [dalam hal ini tentu proses musikal] yang harus dibuang? Terlalu kasar bukan untuk mengatakan hal itu kepada musisi atau musik yang dianggap tidak berbobot dan hanya mengikuti trend industri saja?

Tanpa menyebut nama band-pun, rasanya kita bisa menebak siapa yang dimaksud. Tanpa bermaksud berdiri di salah satu pihak, saya mencoba mengkritisi pernyataan yang menohok itu. Dalam perjalanan industri musik yang saya ikuti, perkembangan trend memang silih bergenti. Ini bukan sesuatu yang baru sebenarnya.  Saling mengklaim sebagai yang paling berbobot ini pernah terjadi di era 70-an ketika rocker Deddy Stanza menyebut musik dangdut Rhoma Irama lewat Soneta-nya sebagai musik kampungan [dan comberan]. Toh akhirnya Rhoma bisa membuktikan eksistensinya sampai sekarang.

Tentu tidak arif juga kasuistis itu dijadikan pembanding. Tapi saya amat meyakini, trend musik sekarang sebenarnya adalah roda yang terus menggelinding. Dalam artian, perputaran trend itu akan berhenti di satu titik dan berganti dengan trend baru, apapun itu. Apakah kemudian ketika trend baru itu kelak muncul, akan ada klaim soal musik dan musisi sampah juga?

Lalu mengapa ada sebutan sampah itu? Saya melihat hanya kasuistis saja. Artinya, tidak semua musisi berpendapat seperti itu. Banyak yang melatarbelakangi mengapa sebutan itu terucap. Karena kegelisahan dan kejengkelan dengan industri musik yang tidak berani bergerak menciptakan trend baru. Kemudian gelisah melihat sisi musikalitas dan skill yang kerap terabaikan, hanya mengandalkan lagu sederhana, kord 3 kunci, dan ngehits.Tidak salah, tapi kemudian jadi persoalan ketika mereka tidak lahir sebagai musisi entertainer dan memang sungguh-sungguh ingin berkiprah di industri. Modalnya adalah keberuntungan dan nepotisme.

Nepotisme? Benar. Banyak band atau penyanyi baru lahir karena karena kakak, adik, atau orangtuanya duluang ngetop [dan masih ngetop]. Akses yang dimiliki, membantu keluarganya untuk bisa menembus industri. Berhasil sukur, tidak berhasil pun tidak masalah karena sudah pernah mencoba.  Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak. Yang salah adalah ketika tidak mempersiapkan diri dengan matang. Baik secara karya atau skill yang cukup. Banyak kok nepotisme di musik, tapi banyak yang eksis karena memang punya talenta dan punya kemampuan yang bagus. Artinya, tidak aji mumpung dan tidak numpang lewat doang.

Kembali ke musik dan musisi sampah. Sudut pandang ini bisa dicermati dari banyak sudut. Dari kacamata musisi yang dianggap pakar dan ahli, musik yang sederhana kerap dianggap kacang. Meski mereka juga kerap mengakui, tidak mudah menciptakan karya yang mudah dan disukai banyak orang. Musik yang berkelas sering diasumsikan dengan cutting edge, non-mainstream, tidak bisa, tidak pasaran. Makin rumit, njlimet, susah diikuti, berarti makin berkelas. Diluar itu apakah pantas disebut sampah?

Maaf tidak sependapat. Buat saya, seni untuk seni. Apapun hasilnya, sebuah karya sudah menjadi karya. Dan karya itu layak diapresiasi. Soal diterima atau tidak di masyarakat, bukan kita yang menjadi jurinya. Jadi ketika seorang musisi menyebut karya musisi lain [yang dianggap kelasnya dibawah dia] sebagai sampah, saya menganggap, itu sebagian kecil orang yang tidak sanggup memberi apresiasi saja. Saya menghargai dan mengapresiasi musik dan musisi yang berkarya, “seaneh” apapun karya mereka. So, jangan pernah berhenti berkarya kalau begitu….
Sumber :Q-5 band Mataram.Musik.indie.com

Fenomena Aliran Musik Pop Cinta

Fenomena yang terjadi didunia musik Indonesia, adanya tanggapan atau kritikan bahwa menyanyikan lagu pop mendapat predikat “cengeng”, menyanyikan lagu jazz dibilang “ngantuk”, classic dibilang “jadul”, rock/metal tidak sedikit yang bilang “kaya kesetanan”, rapp dibilang “kaya baca puisi”, Japannesse rock dibilang “niru”, dangdut dan melayu dibilang “kampungan”.
Nah karena memilih apa saja pasti ada yang mengkritik, daripada ngga jadi ngeband dan berarti ngga memiliki pemasukan, mending nekad aja dan anggap kritik itu sebagai radio butut atau paling bijaksana adalah saran yang membangun!!
Dan akhirnya ? Pop Cinta lah yang dipilih!! karena sedang banyak digemari dan disukai di Indonesia. Kalau yang digemarinya metal mungkin pilih metal!! namun mungkin sebagian band-band berpendapat bahwa daripada membawa musik yang lain tetap dikritik mending membawakan Pop saja karena biarpun dikritik, kesempatan terkenalnya lebih terbuka daripada aliran musik yang lain!! udah dikritik (karena memang musik itu tidak sesuai selera), kurang bisa jadi terkenal.
Begitu pula dengan tema lagu!! mau mengambil tema diluar cintapun pasti masih ada kritikan itu. Nah kesenjangan yang terjadi di musik Indonesia itu sebenarnya bukan cuma salah band karena kalau ditelusuri yah salah semua penggemar musik juga yang pandai sekali menghina. Selama loe hanya bisa menghina band-band maka pencerahan musik itu tidak akan pernah terjadi di Indonesia dan jangan aneh kalau musik Pop Cinta yang terus diusung band-band Indonesia.
Seharusnya jangan menjadikan kekurangan sebuah band untuk di hina tapi melengkapi dengan saran yang membangun karena mana ada sih manusia yang sempurna??
Mungkin ada yang beranggapan kalau skill dan bermusik itu yang sempurna seperti Paul Gilbert, Yngwie.J Malmsteen, Joe Satriani!! tidak salah karena gw juga pikir demikian tapi jika ditelusuri, gak sedikit yang tidak suka dengan musisi barat tersebut karena yah itu tadi musik itu bagus tidaknya sesuai selera. Enak didengar buat loe belum tentu buat orang lain dan begitu sebaliknya.
Bahkan sayapun tidak yakin kalau ke-3 gitaris handal tersebut orang Indonesia dan ngeband di Indonesia bisa disukai lebih dari band Peterpan dengan musik mereka. Bisa-bisa mereka ikut bikin lagu Pop Cengeng.
Sebenarnya ada juga yang mempunyai kemampuan mendekati ke-3 musisi handal tersebut seperti : Eet Syaharani, Sony J-Rock, Billy Mujizat, Andy Owen tapi toh musik mereka masih kalah laku sama Ungu, Peterpan, Ada Band, ST12!!
Mau gimana lagi?? musik itu ibarat agama karena sesuai yang loe sukai dan yakini bahwa yang mana yang terbaik dan terindah. Karena itu loe harus saling menghargai jika ingin musik Indonesia maju. Tapi kalau mau tetap menghina yang seleranya beda dengan loe, yah gpp toh hidup adalah pilihan!! dimana orang bebas memilih mau membuat dunia musik Indonesia tentram atau membuat kacau saja??
Susah tentunya, karena manusia khususnya di Indonesia cenderung menganggap bahwa yang tidak sesuai dengan pendapat, prinsip, dan kesenangan ADALAH SALAH ATAU SESAT ATAU TIDAK BERKUALITAS, dan kalau gw sih lebih ikutin omongan SLANK dalam lagu berikut :
Hak manusia ingin bicara, Hak manusia ingin bernyanyi, kalau sumbang janganlah didengarkan, kalau merdu ikutlah bernyanyi!! jangan ngelarang-larang, jangan banyak komentar (kalau yang membangun gpp), apalagi menghina. [sumber: lspart.wordpress.com/aa]

SEJARAH MUSIK REGGAE


"Musik Jamaica Pendahulu"

Menurut
sejarah Jamaica, budak yang membawa drum dari Africa disebut "Burru"
yang jadi bagian aransemen lagu yang disebut "talking drums" (drum yang
bicara) yang asli dari Africa Barat. "Jonkanoo" adalah musik budaya
campuran Afrika, Eropa dan Jamaika yang terdiri dari permainan drum,
rattle (alat musik berderik) dan conch tiup. Acara ini muncul saat
natal dilengkapi penari topeng. Jonkanoos pada awalnya adalah tarian
para petani, yang belakangan baru disadari bahwa sebenarnya mereka
berkomunikasi dengan drum dan conch itu. Tahun berikutnya, Calypso dari
Trinidad & Tobago datang membawa Samba yang berasal dari Amerika
Tengah dan diperkenalkan ke orang - orang Jamaika untuk membentuk
sebuah campuran baru yang disebut Mento. Mento sendiri adalah musik
sederhana dengan lirik lucu diiringi gitar, banjo, tambourine, shaker,
scraper dan rumba atau kotak bass. Bentuk ini kemudian populer pada
tahun 20 dan 30an dan merupakan bentuk musik Jamaika pertama yang
menarik perhatian seluruh pulaunya. Saat ini Mento masih bisa dinikmati
sajian turisme. SKA yang sudah muncul pada tahun 40 - 50an sebenarnya
disebutkan oleh History of Jamaican Music, dipengaruhi oleh Swing,
Rythym & Blues dari Amrik. SKA sebenarnya adalah suara big band
dengan aransemen horn (alat tiup), piano, dan ketukan cepat "bop". Ska
kemudian dengan mudah beralih dan menghasilkan bentuk tarian "skankin"
pad awal 60an. Bintang Jamaica awal antara lain Byron Lee and the
Dragonaires yang dibentuk pada 1956 yang kemudian dianggap sebagai
pencipta "ska". Perkembangan Ska yang kemudian melambatkan temponya
pada pertengahan 60an memunculkan "Rock Steady" yang punta tune bass
berat dan dipopulerkan oleh Leroy Sibbles dari group Heptones dan
menjadi musik dance Jamaika pertama di 60an.

"Reggae N Rasta"

Bob
Marley tentunya adalah bintang musik "dunia ketiga" pertama yang jadi
penyanyi group Bob Marley & The Wailers dan berhasil memperkenalkan
reggae lebih universal. Meskipun demikian, reggae dianggap banyak orang
sebagai peninggalan King of Reggae Music, Hon. Robert Nesta Marley.
Ditambah lagi dengan hadirnya "The Harder they Come" pada tahun 1973,
Reggae tambah dikenal banyak orang. Meninggalnya Bob Marley kemudian
memang membawa kesedihan besar buat dunia, namun penerusnya seperti
Freddie McGregor, Dennis Brown, Garnett Silk, Marcia Fiffths dan Rita
Marley serta beberapa kerabat keluarga Marley bermunculan. Rasta adalah
jelas pembentuk musik Reggae yang dijadikan senjata oleh Bob Marley
untuk menyebarkan Rasta keseluruh dunia. Musik yang luar biasa ini
tumbuh dari ska yang menjadi elemen style American R&B dan
Carribean. Beberapa pendapat menyatakan juga ada pengaruh : folk music,
musik gereja Pocomania, Band jonkanoo, upacara - upacara petani, lagu
kerja tanam, dan bentuk mento. Nyahbingi adalah bentuk musik paling
alami yang sering dimainkan pada saat pertemuan - pertemuan Rasta,
menggunakan 3 drum tangan (bass, funde dan repeater : contoh ada di
Mystic Revelation of Rastafari). Akar reggae sendiri selalu menyelami
tema penderitaan buruh paksa (ghetto dweller), budak di Babylon, Haile
Selassie (semacam manusia dewa) dan harapan kembalinya Afrika. Setelah
Jamaica merdeka 1962, buruknya perkembangan pemerintahan dan pergerakan
Black Power di US kemudian mendorong bangkitnya Rasta. Berbagai
kejadian monumentalpun terjadi seiring perkembangan ini.

"Apa sih Reggae"

Reggae
sendiri adalah kombinasi dari iringan tradisional Afrika, Amerika dan
Blues serta folk (lagu rakyat) Jamaika. Gaya sintesis ini jelas
menunjukkan keaslian Jamaika dan memasukkan ketukan putus - putus
tersendiri, strumming gitar ke arah atas, pola vokal yang 'berkotbah'
dan lirik yang masih seputar tradisi religius Rastafari. Meski banyak
keuntungan komersial yang sudah didapat dari reggae, Babylon (Jamaika),
pemerintah yang ketat seringkali dianggap membatasi gerak namun bukan
aspek politis Rastafarinya. "Reg-ay" bisa dibilang muncul dari anggapan
bahwa reggae adalah style musik Jamaika yang berdasar musik soul
Amerika namun dengan ritem yang 'dibalik' dan jalinan bass yang
menonjol. Tema yang diangkat emang sering sekitar Rastafari, protes
politik, dan rudie (pahlawan hooligan). Bentuk yang ada sebelumnya (ska
& rocksteady) kelihatan lebih kuat pengaruh musik Afrika -
Amerika-nya walaupun permainan gitarnya juga mengisi 'lubang - lubang'
iringan yang kosong serta drum yang kompleks. Di Reggae kontemporer,
permainan drum diambil dari ritual Rastafarian yang cenderung mistis
dan sakral, karena itu temponya akan lebih kalem dan bertitik berat
pada masalah sosial, politik serta pesan manusiawi.

"Ngga asli Jamaika lho!"

Reggae
memang adalah musik unik bagi Jamaika, ironisnya akarnya berasal dari
New Orleans R&B. Nenek moyang terdekatnya, ska berasal berasal dari
New Orleans R&B yang didengar para musisi Jamaika dari siaran radio
Amrik lewat radio transistor mereka. Dengan berpedoman pada iringan
gitar pas - pasan dan putus - putusadalah interprestasi mereka akan
R&B dan mampu jadi populer di tahun 60an. Selanjutnya semasa musim
panas yang terik, merekapun kepanasan kalo musti mainin ska plus
tarinya, hasilnya lagunya diperlambat dan lahirlah Reggae. Sejak itu,
Reggae terbukti bisa jadi sekuat Blues dan memiliki kekuatan
interprestasi yang juga bisa meminjam dari Rocksteady (dulu) dan bahkan
musik Rock (sekarang). Musik Afrika pada dasarnya ada di kehidupan
sehari-hari, baik itu di jalan, bus, tempat umum, tempat kerja ato
rumah yang jadi semacam semangat saat kondisi sulit dan mampu
memberikan kekuatan dan pesan tersendiri. Hasilnya, Reggae musik bukan
cuma memberikan relaksasi, tapi juga membawa pesan cinta, damai,
kesatuan dan keseimbangan serta mampu mengendurkan ketegangan.

"It's Influences"

Saat
rekaman Jamaika telah tersebar ke seluruh dunia, sulit rasanya
menyebutkan berapa banyak genre musik popular sebesar Reggae selama dua
dekade. Hits - hits Reggae bahkan kemudian telah dikuasai oleh bintang
Rock asli mulai Eric Clapton sampai Stones hingga Clash dan Fugees.
Disamping itu, Reggae juga dianggap banyak mempengaruhi pesona tari
dunia tersendiri. Budaya 'Dancehall' Jamaika yang menonjol plus sound
system megawatt, rekaman yang eksklusif, iringan drum dan bass, dan
lantunan rap dengan iringannya telah menjadi budaya tari dan tampilan
yang luar biasa. Inovasi Reggae lainnya adalah Dub remix yang sudah
diasimilasi menjadi musik populer lainnya lebih luas lagi


Sumber : Tabloid Hot Music

Rabu, 07 Desember 2011

MUSIK INDIE TU APA ????

Apakah definisi dari musik indie menurut anda?

Sebenarnya menurut saya, musik indie sebagai aliran atau genre musik itu “not even exist” ( tidak ada-red), karena yang disebut musik indie itu adalah untuk membedakan antara yang mainstream dengan indie. Jadi musik indie adalah istilah untuk membedakan antara musik yang dimainkan oleh musisi profesional dengan musisi amatir.

Tapi yang pasti indie adalah gerakan bermusik yang berbasis dari apa yang kita punya, do it yourself, etika yang kita punya mulai dari merekam, mendistribusikan dan promosi dengan uang sendiri. Walaupun nantinya akan ada perbedaan lagi antara indie dengan D.I Y itu sendiri.


Bagaimana pengkriterian antara indie dengan mainstream?


Umumnya yang dimaksud dengan mainstream adalah arus utama, tempat di mana band-band yang bernaung di bawah label besar, sebuah industri yang mapan. Band-band tersebut dipasarkan secara meluas yang coverage promosinya juga secara luas, nasional maupun internasional, dan mereka mendominasi promosi di seluruh media massa, mulai dari media cetak, media elektronik hingga multimedia dan mereka terekspos dengan baik.

Jadi jika kita berbicara kriteria dari mainstream dengan indie itu lebih kepada industrinya, perbedaannya lebih kepada nilai investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan rekaman. Kalau masalah talent atau talenta, tidak ada yang memungkiri kalau band-band indie terkadang lebih bagus daripada band-band mainstream. Jadi di sini hanya masalah uang, karena industri musik berbasis kepada profit, jadi label menanamkan modal yang besar untuk mencari keuntungan yang lebih besar, ya, itu tadi pada nilai investasinya.

Bagaimana musik indie bisa tumbuh di Indonesia?


Musik indie tumbuh secara natural di Indonesia dan tidak ada yang memungkiri kalau musik rock n’ roll di Amerika sendiri pun tumbuh secara natural walaupun pada awalnya ditentang oleh orang tua dan pemuka agama. Kalau di Indonesia sendiri adalah imbas karena kita mengidolakan band luar. Maka jika kita telusuri, hampir semua band Indonesia adalah epigon dari band-band luar. Mereka mengawali karir mereka dengan membawakan lagu-lagu dari band luar mulai dari Koes Plus, God Bless sampai band-band awal 90an masih sering membawakan lagu orang.

Jadi mengapa mereka ada di situ? Pertama mereka mengidolakan band-band tersebut, kemudian mereka juga menjadi terinspirasi untuk menjadi rockstar. Menjadi rockstar itu menjadi impian hampir semua anak muda dikarenakan oleh apa yang terekspos di media, menjadi rockstar itu nikmat dan menyenangkan. Itu awal benihnya. Tapi mereka juga sadar bahwa ada keterbatasan menembus industri musik di mana ketika sebagai musisi rock yang cenderung ekstrim, mereka akan memainkan musik rock yang mereka sukai.

Jadi otomatis mereka tidak memandang musik rock yang mereka mainkan sebagai sesuatu yang layak dijual karena yang penting menurut mereka adalah idealisme dulu. Setelah itu, diterima oleh industri adalah urusan belakangan.



Sekitar tahun berapa musik indie di Indonesia mulai ada?


Berdasarkan sepengetahuan saya, sebenarnya musik indie atau dulunya disebut dengan underground itu sudah ada sekitar tahun 1970an. Kalau Koes Plus mengawali karirnya dengan langsung dikontrak oleh Remaco, di Indonesia dimulai dengan band-band seperti God Bless, AKA, Giant Step, Super Kid dari Bandung, Terncem dari Solo dan Bentoel dari Malang. Pada saat itu mereka sudah mendeklarasikan bahwa band mereka underground dan informasi ini saya baca di majalah Aktuil terbitan tahun 1971.

Di dalam majalah itu ditulis bahwa ada Underground Music Festival di Surabaya. Ada sebuah kompetisi antar band yang diwakili oleh God Bless dari Jakarta, Giant Step dari Bandung, Bentoel dari Malang dan Tencrem dari Solo. Mereka berkompetisi dan menurut saya, inilah cikal bakal dari scene underground atau indie. Dari situ juga mengapa band-band indie banyak berkembang dari kota-kota tersebut, band yang kemudian mewarisi apa yang dilakukan para pendahulu tersebut.


Menurut saya penelitian banyak yang mengatakan bahwa tahun 1993 merupakan tahun musik indie itu lahir atau established, saat PAS Band merilis album, menurut anda?

Yang mempopulerkan memang PAS Band, tapi menurut saya yang melahirkan adalah band-band jaman dulu. Namun dari setiap generasi selalu terjadi revisi, kesalahan-kesalahan dari pendahulu mereka perbaiki. Kesalahan dari pendahulu adalah tidak pernah merilis album, selalu membawakan lagu orang lain, selalu senang populer dengan lagu orang dan minimnya dokumentasi tentang musik-musik mereka.

Maka jika dibilang PAS band established itu benar tapi bukan mereka yang melahirkan musik indie. Bahkan album indie pertama bukan album PAS Band yang For Through The SAP itu, melainkan album dari Guruh Gipsy, mereka membuat album itu sekitar tahun 1976. Ini juga terungkap dari Deny Sakrie baru-baru ini dan album Guruh Gipsy itu mungkin album indie pertama.

Tapi yang pasti, PAS Band mempopulerkan gerakan indie pada tahun 1993 dengan menjual 5000 kopi albumnya dan terjual habis. Dan apa yang dilakukan PAS Band menjadi inspirasi semua band-band yang ada pada waktu itu. Kemudian barulah lahirnya Puppen, Pure Saturday, Waiting Room dan lain-lain. Jadi menurut saya, PAS Band cukup menginspirasi anak-anak muda untuk bergerak di bidang ini.



Pengaruh apa saja yang membantu perkembangan musik indie di Indonesia?

Pengaruh yang pertama, kalau anda bedakan sekarang dengan 10 tahun yang lalu, sekarang sudah jelas gerakan ini lebih besar. Yang paling jelas adalah globalisasi informasi yang didorong oleh internet. Menjadi semakin besar sekitar akhir tahun 1990an karena internet bertebaran di mana-mana, warnet, kampus dan sekolah. Jaman dulu informasi terhadap musik-musik seperti ini sangat eksklusif. Informasi hanya bisa didapat dari majalah-majalah luar. Kita pun untuk mengorder T-Shirt masih harus dengan cara yang primitif, dengan menggunakan katalog, mengisi form dan membayar dengan kartu kredit.

Kalau jaman sekarang segalanya menjadi mudah dengan internet, semuanya “terakselerasi maksimum”. Jadi menurut saya ini semua karena peran internet, ditambah lagi dengan adanya MySpace dan Friendster (group websites-red). Perkembangan infrastruktur juga berbeda, kalau 10 tahun yang lalu indie label hanya sedikit. Pengertian indie label pun kadang masih salah kaprah disini. Karena yang dimaksud dengan indie label bukanlah rilisan album namun label rekaman yang independen. Sedangkan yang merilis sendiri adalah self-released atau D.I.Y.

Jadi 10 tahun yang lalu label-label indie itu sedikit, sekarang sudah banyak walaupun masih sedikit yang berbisnis dengan baik dan benar. Tapi infrastrukturnya sudah lebih baik. Kita juga punya rock club buat manggung dan berbagai media yang membantu perkembangannya. Bahkan perkembangannya di Indonesia jauh lebih menarik dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Semua dikarenakan infrastruktur yang lebih baik walaupun masih banyak kekurangan.



Dengan perkembangan musik indie yang baik di Indonesia, ciri khas apakah yang membedakan musik indie di Indonesia dengan negara lain?

Yang membedakan adalah penonton jarang yang mau bayar tiket, tidak pernah beli minuman jika sedang di rockclub dan kurang mau membeli rilisan. Ini dalam konotasi negatif [tertawa]. Dalam konotasi positif adalah banyaknya band-band baru yang lahir dengan berbagai macam jenis musik baru. Kalau 10 tahun yang lalu ketika sebuah majalah musik memperkenalkan tren thrash metal maka semuanya menjadi anak metal. Tapi sekarang tidak ada sebuah tren yang mendominasi, ketika ada tren emo tidak semua ikut menjadi anak emo tapi masih ada anak indie pop, new wave, high octane rock dan lain-lain. Penggemar musik sekarang ini lebih segmented.

Jadi menurut saya ini adalah perkembangan yang baik. Tapi yang lebih unik lagi ketika saya kemarin berkunjung ke Jepang dan Jerman ada sesuatu yang mereka tidak punya, yaitu spirit untuk stick together. Di Indonesia semua musisi berkomunikasi, berkumpul dan bersilaturahmi dengan sehat, baik anak metal maupun new wave, indie pop dengan hardcore, mereka semua tetap mempunyai hubungan baik. Bahkan kita mempunyai event yang bernama SGM atau sintinggilamiring di mana band besar atau kecil dengan berbagai aliran dapat tampil di satu panggung. Di luar negeri kekerabatan seperti ini jarang ditemui, bahkan band dengan aliran yang sama pun belum tentu kenal.



Saya banyak membaca bahwa “distro” menjadi salah satu faktor berkembangnya musik indie di Indonesia, bagaimana menurut anda?

Benar. Distro bisa menjadi poin tambahan buat infrastuktur itu tadi. Distro pertama di sekitar Jakarta bernama Pose yang bertempat di daerah Depok sekitar tahun 95an. Itulah distro pertama yang ada di sekitar Jakarta dan akhirnya banyak menjamur di Indonesia. Distro merupakan plus point untuk musik indie, karena band-band indie akan merilis sesuatu maka mereka butuh outlet untuk menjual produk mereka, entah itu rilisan, merchandise, souvenir dan sebagainya maka distro menjadi sebuah retail yang alternatif daripada tempat-tempat yang sudah ada seperti Aquarius Mahakam atau tempat-tempat lain. Fenomena seperti itu sudah ada di seluruh Indonesia.

Dan tidak lupa, semangat independen dari gerakan musik indie juga menyebar ke barbagai bidang, salah satunya adalah gerakan film independen. Film independen terinspirasi dari gerakan musik indie. Bahkan album jazz yang dibuat oleh Indra Lesmana terinspirasi dari semangat gerakan musik indie. Jadi etos gerakan musik indie yang dilakukan oleh teman-teman semua ini sudah berimbas ke bidang-bidang lain.



Bagaimana menurut anda posisi media terhadap musik indie dari 10 tahun yang lalu hingga sekarang?

Sepengetahuan saya sejak jaman Rotor, saat itu satu-satunya media mainstream yang mempunyai hubungan baik dengan musisi indie adalah majalah Hai. Karena dulu pun album Pure Saturday didistribusikan oleh Hai dan begitu juga dengan Kubik yang memberikan sample 2 buah lagu gratis melalui Hai. Jadi Hai merupakan salah satu media yang baik hubungannya dengan musisi indie sampai ada satu edisi sekitar tahun 1994 yang isinya hanya membahas band-band indie.

Jadi support media yang baik pada masa itu hanya dari Hai yang salah satunya menjadi akses informasi tentang musik indie. Namun kemudian majalah itu ditinggal oleh pembacanya karena hadirnya internet dan banyaknya terjadi kasus kekacauan data dan kerancuan interpretasi dalam menulis tentang gerakan musik ini. Saya duga ini karena penulisnya malas melakukan riset, verifikasi dan observasi yang lebih mendalam akibat tekanan deadline. Tapi mereka tetap mensupport hingga sekarang. Jadi menurut saya Hai itu yang pertama saat itu.



Bagaimana perkembangan musik indie saat ini?

Gila lah! Dari mulai era PAS yang direkrut Aquarius, Suckerhead dengan Aquarius, Jun Fan Gung Foo, Superman Is Dead dengan Sony, Shaggydog dengan EMI hingga The Upstairs dengan Warner Music. Jelas perkembangan musik indie akan menjadi cikal bakal musik mainstream baru. Jadi yang akan terjadi adalah musik indie akan jadi ladang pertumbuhan dan perkembangan yang mana nanti akan berbuahnya di major label. Jadi kontribusi terbesar adalah mereka membawa perubahan bagi ragam jenis musik di Indonesia.

Kemudian perkembangan yang lain adalah kalau dulu jika musisi ingin rekaman harus memakai pita satu setengah inci dengan studio yang mahal, sekarang bisa dengan teknologi digital yang murah dengan sistem home recording, musisi bisa membuat rilisan dengan mudah dan murah. Karena saya yakin nantinya semua band-band besar nasional akan lahir dari generasi band indie. Paling lama sekitar sepuluh tahun lagi.

Sebenarnya perjalanan sejarah musik kita jauh tertinggal menurut saya. Kalau di luar, Elvis Presley memulai karirnya dengan indie pada pertengahan tahun 50an sedangkan di Indonesia baru mulai sekarang. Jadi nantinya band-band indie suatu saat akan menjadi band-band besar dan perkembangannya bisa dilihat dari PAS Band dan Naif.

Perkembangan yang lain bisa dilihat dari pentas-pentas seni. Kalau anda mau melihat perkembangan selera musik anak-anak muda, anda jangan melihat pentas seni seperti Soundrenaline. Tetapi anda harus melihat ke pentas seni anak-anak SMU (pensi), semua band yang main di sana merupakan pilihan mereka sendiri, mereka melakukan mekanisme polling untuk memilih artis yang akan main di pensi mereka. Jadi menurut saya itu adalah selera yang jujur, tidak seperti event besar yang biasanya terjadi deal-deal di balik meja.

Jaman dulu, band-band indie jarang mendapat panggung yang enak. Panggung selalu kecil dan jam manggung yang siang saat matahari di atas kepala. Kalau sekarang band-band indie dapat bermain di panggung yang sama dengan artis besar dengan jam yang tidak jauh berbeda. Mereka bisa show berdekatan dengan headliner. Di Amerika semakin malam sebuah band manggung maka semakin besar nama band tersebut. Jadi menurut saya fenomena ini bagus sekali.

Malah ada kecenderungan kalau anak-anak SMU bosan dengan artis-artis besar atau mainstream dan lebih memilih band-band indie. Ini disebabkan karena anak-anak indie membawa darah segar kepada acara-acara mereka. Sepuluh tahun yang lalu tidak dapat dibayangkan kalau band-band indie dapat main di panggung seperti ini.

Perkembangan yang lain adalah penjualan album-album independen yang meningkat. Tapi untuk data lebih kongkrit saya tidak punya. Hanya saja generasi muda dari pendengar musik indie ini jauh lebih baik dari 10 tahun yang lalu. Anak-anak sekarang yang tidak terkontaminasi dengan orang-orang jaman dulu malah menawarkan sesuatu yang baru dengan mentalitas lebih baik dari para pendahulu mereka.

Mereka membeli merchandise, membeli kaset dan bahkan berkeliling mengikuti artis indie idola mereka ke mana mereka manggung. Inilah fenomena yang mungkin tidak ditemui 10 tahun yang lalu. Mereka mensupport dengan baik musik-musik indie. Inilah hal-hal yang menarik dari perkembangan musik indie di Indonesia.



Apakah menurut anda dampak-dampak yang ditimbulkan dari perkembangan musik indie di Indonesia?

Yang pertama adalah adanya band-band yang dibesarkan secara indie kini mulai menjadi besar fan basenya dan kian mapan seperti PAS Band, Naif, Superman Is Dead, Ten2Five, Maliq & D’Essentials, Mocca, Koil, White Shoes & The Couples Company, The Brandals, The Upstairs, Seringai dan sebagainya.

Kemudian yang kedua adalah selera. Perbaikan selera musik masyarakat secara keseluruhan. Walaupun menurut saya sempat diperburuk kembali dengan adanya Radja tetapi buat saya ada sebuah alternatif lebih baik daripada disesaki oleh musik-musik yang tidak berkembang dari jaman dulu sampai sekarang.

Dan sekarang tinggal menunggu adanya perusahaan rekaman yang berani investasi besar dan mengambil keuntungan dari industri ini. Karena menurut saya, jika industri musik indie berkembang maka akan berpengaruh kepada industri musik secara makro dan begitu juga sebaliknya.

Kemudian dampak yang berikutnya adalah bakal berkembangnya indie label yang disupport oleh major label. Seperti yang telah dimulai lebih dulu di akhir tahun 90an oleh Independen/Pops dengan Aquarius Musikindo. Begitu juga dengan makin seriusnya label rekaman independen dalam berbisnis dan berpromosi yang belakangan tengah gencar dilakukan oleh Aksara Records di Jakarta dan FFWD Records di Bandung.

Yang terakhir adalah lahirnya generasi pendengar musik baru yang tertarik untuk membeli dan mendengar musik-musik indie. Mereka yang memiliki mentalitas lebih baik dari anak-anak sebelumnya. Kepada merekalah industri musik ini nantinya bergantung. Mudah-mudahan.

Ougghhh.....Alangkah indahnya

Ooh … alangkah indahnya ya, jika mereka yang merendahkanmu, kemudian karena keahlianmu – mereka membutuhkanmu, dan memohon-mohon bantuanmu.

Ooh … alangkah manisnya ya, jika mereka yang menghinamu, karena kejujuran dan kerja kerasmu – mereka menjadi bawahanmu, yang kebaikan karirnya berada dalam kewenanganmu.

Ooh … alangkah mulianya ya, jika walau dengan terbaliknya jaman, engkau tetap berlaku ra......mah dan anggun terhadap mereka yang pernah menjahatimu, saat engkau sebetulnya mampu untuk membalas.

Sahabatku yang baik hatinya,

Tuhan tidak akan menjadikanmu orang besar, jika engkau akan berlaku kejam dengan kebesaranmu.

Sesungguhnya, kasih sayang di hatimu adalah panda kebesaran masa depanmu.

Maka, setialah kepada hati baikmu.