“Pasar Dapat diciptakan..”
(Efek Rumah Kaca)
Mungkin banyak orang sudah tahu apa itu indie. Dewasa ini indie sering dikaitkan dengan musik. Musik indie, walau sebenarnya diluar musik memang ada hal-hal lain yang bisa disebut indie. Memang apa indie itu? Berakar dari kata “Independent” yang akhirnya menjadi indie, kurang lebih berarti independen alias mandiri. Jadi indie berarti mandiri dalam membuat sendiri jalur distribusi sebuah produk. Dalam segala aspek, bukan hanya musik. Yang Kita sering dengar ya musik indie, walau ada juga film indie, clothing indie, dll. Dalam hal ini yang hendak dibicarakan disini ada dalam konteks musik indie. Yang selalu disebut-sebut sebagai musik yang beda. Lalu musik yang seperti apa indie itu?
Indie, Metode Distribusi Yang Menjadi Sebuah Nama Genre Musik.
17 tahun yang lalu sebuah mini album dengan 4 lagu bertitel “4 Through The Sap” dirilis. Dan album inilah yang dianggap sebagai tonggak awal kesuksesan album yang dirilis sendiri oleh sang artis tanpa tergantung pada hirarki dan birokrasi major label. Band yang menuai sukses awal metode rilis mandiri ini adalah Pas Band. Pemilik mini album bergaya musik rasa seattle sound itu. Sebelum Pas Band memang ada musisi lain yang rilis album mandiri. Shark Move misalnya, namun Boleh dibilang Pas Band inilah yang memulai pergerakan Indie di Indonesia, pasalnya pasca album yang didalamnya memuat lagu seperti Dogma atau Here Forever ini mulai ramailah band dan musisi lain yang melakukan proses produksi album mandiri. Dan rata-rata musisi yang merilis album secara mandiri dan independen ini adalah Mereka yang ditolak oleh major label alias perusahaan rekaman besar. Bernaung dibawah major label memang menggiurkan dengan luasnya dukungan distribusi dan pemasaran yang Mereka miliki. Namun tentu atas nama selera pasar dan industri musik yang bernaung dibawah label besar ini harus tipikal sama: mudah dijual. Sementara beberapa musisi menyebut hal itu sebagai pembatasan kreatifitas. Maka satu-satunya jalan keluar terbaik adalah merilis sendiri karya musik ini agar tak terkekang birokrasi rumit major label. Ini juga yang membuat musik-musik yang dirilis secara independen terasa beda dan elitis. Karena Mereka tidak sedang mempertaruhkan lehernya di industri musik besar yang harus laku agar balik modal. Yang Mereka kejar adalah kepuasan estetika. Hal ini yang kemudian memunculkan istilah “Musik Indie” yang diartikan sebagai musik yang beda. Indie lantas ditasbihkan menjadi sebuah genre musik, ditujukan pada musik yang beda tadi. Padahal sesungguhnya indie awalnya ya sebuah metode produksi dan distribusi independen. Agak kurang tepat bila lantas disama ratakan bahwa musik yang beda itu indie, sebab toh diluar sana ada juga musik yang beda tapi major.
Indie Yang Major.
Rupanya industri besar musik mulai melirik potensi dalam nama Indie ini. Wajar bila akhirnya nama Indie masuk ke kancah major. Industri musik mulai menjual musik yang bernama indie, dengan sebuah legitimasi bahwa apa yang dimaksud indie adalah musik yang beda tadi. Sebenarnya tak ada yang salah dalam komodifikasi indie ini. Karena seperti kata Joseph Heath dan Andrew Potter dalam “Radikal Itu Menjual” bahwa segala yang radikal memang menjual kan? Label elitis dan beda indie dianggap radikal maka harus dieksploitasi dalam industri musik besar agar mampu menghasilkan keuntungan. Terhitung ada beberapa band yang tadinya berjuang di jalur indie akhirnya masuk juga ke jalur major label ini untuk ekspansi pemasaran. Bahkan Pas Band sang pelopor pergerakan indie pun hingga kini bernaung di sebuah label major negeri. Jadi timbul sebuah pertanyaan. Jika esensi indie yang hakiki adalah sebuah metode produksi dan distribusi, bukan genre musik. Bagaimana bisa major label yang juga sebuah entitas bisnis menjual metode itu? Sama seperti ketika mereka menjual genre pop, rock, dangdut, melayu? Tibalah saat indie dibaptis menjadi genre musik demi menjadi komoditas.
Kritis Yang Banal.
Yang menjadi nilai lebih dari musik yang dirilis dalam jalur indie adalah musik mereka tak terbatas pakem industri, maka bisa bebas berkreatifitas menyampaikan apapun. Juga menyampaikan pesan kritisisme dari sang musisi dalam mengkritisi apapun yang dianggap kurang beres. Ambil contoh band Pop minimalis Efek Rumah Kaca dengan lagunya “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja.” Dalam lagu itu band trio ini menyampaikan pesan seperti dalam lirik “kita berdua hanya berpegangan tangan, tak perlu berpelukan.” . Namun ketika trio itu konser membawakan lagu tersebut, toh para penontonnya yang berpasangan tetap berpelukan. Lalu lagu “Amerika” dari band Jogja Armada Racun yang mengkritisi adiksi Kita akan semua yang berbau Amerika. Namun toh para pendengarnya tetap gila Amerika dan mengkonsumsi amerikanisasi itu sendiri. Yang menjadi pertanyaan lalu adalah: “ketika sebuah lagu dari para musisi yang dianggap beda ini, yang sebenarnya lirik lagunya memang kritis. Namun toh tidak membuat perubahan apapun dalam hidup para pendengarnya, apa yang salah? Apakah kritisisme musisi indie ini yang menjadi banal dan remeh temeh? Atau salah para pendengarnya yang terlalu bebal dan menganggap semua musik kritis yang katanya beda ini hanya sebatas hiburan selayaknya musik pop atau rock yang dijual major label, bukan sebagai dogma layaknya kitab suci agama yang setelah dibaca harus diterapkan dalam kehidupan agar menuju kebaikan.” Barangkali kecemasan terakhir yang Kita rasakan adalah ketika Kita mengamini keputusan Bob Dylan yang berhenti membuat musik kritis karena sadar bahwa musiknya tak membuat perubahan dan revolusi. Ketika tiba saat semua musisi yang (katanya) beda dan kritis yang berjuang di jalur indie ini. Kala itulah semua musik akan seragam. Dan indie, sebuah metode produksi dan distribusi musik (yang dicap sebagai genre musik) yang katanya beda itu akan jadi seragam juga dengan saudara jauhnya major label. Dan selamat datang homogenisasi industri musik.
ARIS SETYAWAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran yang membangun sangat kami hargai karena anda sangat pantas untuk dihargai.